Hidup Lebih Nyata
Pelan-Pelan Mengubah Cara Aku Pakai Gadget
Aku lupa kapan tepatnya mulai merasa hidupku terlalu melekat sama layar. Tapi yang jelas, rasa itu muncul makin kuat saat pandemi. Segalanya pindah ke digital, belajar online, ngobrol sama teman, cari hiburan, bahkan belanja pun tinggal klik. Awalnya sih seru, tapi lama-lama aku ngerasa capek sendiri. Ada yang hilang, tapi aku nggak tahu apa.
Satu hari, aku iseng buka fitur screen time di HP-ku. Niatnya cuma pengen tahu seberapa sering aku buka media sosial. Ternyata... lebih dari 8 jam per hari! Bahkan ada hari-hari tertentu aku bisa lebih dari itu. Nggak cuma Instagram atau TikTok, tapi juga buka aplikasi-aplikasi lain cuma buat "isi waktu". Dari situ aku mulai kepikiran: apa iya ini caraku menikmati waktu, atau aku cuma ketagihan?
Yang paling aku rasain tuh otakku jadi cepat capek. Susah fokus kalau baca buku, sering overthinking kalau habis lihat postingan orang, dan tidur pun jadi nggak nyenyak karena otak kayak belum “off”. Padahal, kalau dipikir-pikir, banyak waktu yang bisa aku pakai buat hal lain,ntapi malah habis untuk scrolling yang sebenarnya nggak selalu bikin bahagia.
Jujur, awalnya aku denial. “Ah, semua orang juga gitu”, pikirku. Tapi semakin aku sadar efeknya, semakin aku merasa ini harus diubah. Akhirnya aku mulai nyoba pelan-pelan. Aku nggak langsung detox total, karena tahu itu terlalu ekstrem. Aku mulai dari hal kecil, matikan notifikasi aplikasi, hapus beberapa aplikasi yang paling bikin lupa waktu, dan pasang jam digital di meja belajar biar nggak terus-terusan lihat HP.
Aku juga mulai ngerutinin waktu offline. Misalnya, 1 jam sebelum tidur aku usahakan nggak pegang HP. Aku ganti kegiatan scrolling malam dengan baca buku ringan atau nulis di jurnal. Siang hari, aku sisihkan waktu buat jalan kaki sebentar, tanpa dengar musik atau bawa HP, cuma aku dan pikiranku sendiri.
Ternyata efeknya nggak langsung terasa, tapi perlahan-lahan. Aku mulai bisa tidur lebih cepat. Paginya aku bangun dengan kepala yang lebih segar. Moodku juga jadi lebih stabil. Aku jadi bisa benar-benar hadir saat ngobrol sama orang, tanpa sibuk cek HP di sela-sela. Dan yang paling penting, aku merasa punya kendali atas hidupku sendiri lagi.
Satu kutipan yang terus terngiang di kepalaku berasal dari Marshall McLuhan:
"We shape our tools and thereafter our tools shape us."
Artinya, awalnya kita yang menciptakan teknologi, tapi kalau nggak hati-hati, teknologi bisa mengatur dan mengubah kebiasaan bahkan pola pikir kita.
Nggak bisa dimungkiri, hidup sekarang ini nggak bisa jauh dari digital. Dan itu bukan hal yang salah. Tapi kita perlu ngerti batasnya. Kita harus belajar memilah: kapan waktunya online, kapan waktunya benar-benar offline dan terhubung sama diri sendiri atau lingkungan sekitar.
Perubahan ini bikin aku sadar, ternyata “sibuk” di dunia digital belum tentu bikin kita puas atau bahagia. Kadang, justru yang paling menenangkan adalah saat kita duduk diam, menikmati kopi hangat, atau sekadar ngobrol langsung sama orang terdekat, tanpa distraksi notifikasi.
Menjalani hidup digital yang lebih sadar memang butuh niat dan usaha. Tapi bukan berarti harus sempurna. Aku pun masih kadang “kecolongan” buka media sosial terlalu lama. Tapi sekarang aku lebih cepat sadar dan tahu kapan harus berhenti. Yang penting bukan tentang jadi sempurna, tapi tentang jadi lebih baik dari kemarin.
Dan buat kamu yang lagi baca ini, mungkin kamu juga lagi ngerasa capek sama dunia digital yang cepat dan penuh distraksi. Nggak apa-apa. Kamu nggak sendiri. Yuk, bareng-bareng kita belajar pakai teknologi dengan lebih bijak. Karena sebenarnya yang kita cari bukan sekadar hiburan, tapi ketenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya.
“Perubahan itu nggak perlu langsung besar. Mulai aja dari langkah kecil, asal konsisten, itu udah luar biasa.”
— Aku, versi yang mau bertumbuh